HISAB
Hisab secara harfiah 'perhitungan. Dalam dunia Islam istilah
hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi)
untuk memperkirakan posisi Matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi Matahari
menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya
waktu salat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya
hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal
ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat
muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fithri), serta awal Dzulhijjah saat
jamaah haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10
Dzulhijjah).
Dalam Al-Qur'an surat Yunus (10)
ayat 5 dikatakan bahwa Allah memang sengaja menjadikan Matahari dan bulan
sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar-Rahman (55)
ayat 5 disebutkan bahwa Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.
Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi
benda-benda langit (khususnya Matahari dan bulan) maka sejak awal peradaban
Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi. Astronom muslim ternama yang
telah mengembangkan metode hisab modern adalah Al Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al Khawarizmi, Al Batani, dan Habash.
Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat
presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (software)
yang praktis juga telah ada. Hisab seringkali digunakan sebelum rukyat
dilakukan. Salah satu hasil hisab adalah penentuan kapan ijtimak terjadi,
yaitu saat Matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi sebidang atau disebut
pula konjungsi geosentris. Konjungsi geosentris terjadi pada saat matahari dan bulan berada
di posisi bujur langit yang sama jika diamati dari bumi. Ijtimak terjadi 29,531
hari sekali, atau disebut pula satu periode sinodik.
RUKYAT
Rukyat adalah aktivitas mengamati
visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang
pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan
mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.
Aktivitas
rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya Matahari pertama kali setelah
ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam
sesaat setelah terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat, maka pada petang
(Maghrib) waktu setempat telah memasuki tanggal 1.
Namun
demikian, tidak selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang waktu antara
ijtimak dengan terbenamnya Matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori
hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram
dibandingkan dengan "cahaya langit" sekitarnya. Kriteria Danjon (1932,
1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal
jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 7
derajat. [1]
Dewasa
ini rukyat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang
dilengkapi CCD Imaging. namun tentunya perlu dilihat lagi bagaimana
penerapan kedua ilmu tersebut
Urgensi Rukyatul Hilal
Pengurus Lajnah Falakiyah PBNU, Hendro Setyanto secara optimis
mengatakan bahwa rukyatul hilal atau dalam bahasa lain observasi menyebabkan
disiplin ilmu astronomi terus berkembang hingga saat ini. Tanpa observasi itu
ilmu astronomi akan mandeg dan umat Islam hanya mengandalkan data astronomis,
apalagi sekarang data itu tidak dikembangkan sendiri tapi diperoleh begitu saja
dari kalangan non Muslim[7].
Sejatinya, kegiatan observasi dan eksperimen merupakan asas
semua cabang ilmu alam. Melalui kegiatan tersebut diperoleh data, yang setelah
melalui proses reduksi dan pengolahan, disintesiskan menjadi sebuah model atau
teori tentang suatu fenomena alam. Model atau teori tersebut sepatutnya mampu
menerangkan fenomena alam yang dikenal dan bahkan dapat memprediksi hal-hal
baru yang belum dijumpai yang kebenarannya akan dibuktikan melalui observasi
dan eksperimen baru.
Oleh karenanya, dengan alasan ilmiah, yaitu bahwa kegiatan observasi hilal yang
dilakukan memiliki peran dalam upaya menentu-sahkan (verification)
pemodelan matematis yang telah dibuat, kegiatan tersebut memiliki relevansi
yang tak terbantahkan. Lebih dari sekadar informasi bahwa ketinggian hilal di
cakrawala Barat saat Matahari terbenam adalah positif, metode observasi ini
juga mensyaratkan terlihatnya hilal baik dengan mata telanjang ataupun
menggunakan alat pada ketinggian tersebut.
Selain itu, data astronomi bersifat dinamis karena posisi benda-benda langit
yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Dengan demikian, kegiatan
observasi untuk memperoleh data mutakhir mutlak diperlukan agar perbedaan (jika
ada) antara hasil pemodelan menggunakan data terkait dan hasil pengujian
empiris di lapangan dapat semakin diminimalkan. Dengan kata lain, observasi
hilal diperlukan untuk pengembangan sains hilal itu sendiri[8].
Rukyat ini menurut Ghazalie Masroerie, dengan kata lain sekaligus
menjadi sarana koreksi atas hitungan hisab[9].
Dengan mengamati keteraturan gerak Matahari dan Bulan, manusia telah dapat
merumuskan dan memodelkan gerak benda-benda langit tersebut untuk keperluan
praktis sehari-hari. Bahkan dengan menyertakan faktor koreksi, pergerakan
benda-benda langit untuk kurun masa yang akan datang pun telah dapat ditentukan
dengan cermat. Inilah yang dimaksud dengan hisab. Seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan ini, berkembang pula pemahaman terhadap nash agama yang
membuat observasi/rukyat tidak lagi menjadi satu-satunya metode dalam penentuan
awal bulan[10].
Pengalaman pengamatan Hilal berulang-ulang perlu dilakukan bagi
seorang pengamat atau bagi yang mau menekuni sebagai pemburu Hilal. Pengalaman
akan dapat memberi saran perbaikan bagaimana cara efektif untuk mengamati Hilal
(misalnya cara mencari lokasi Hilal di langit, sistem pencatatan dan merancang
alat bantu sederhana untuk pengamatan Hilal). Pengalaman akan membentuk sikap
kritis dalam menilai apakah yang sedang diamati sebuah Hilal atau bukan. Atau
menemukan pengalaman baru melihat Hilal termuda dengan membandingkan hasil
pengamatan baru dengan ingatan dan pengalaman yang sudah-pernah diperoleh.
Pengalaman berbeda akan memberi judgement yang berbeda, daya
lihat pengamatan juga berbeda. Derajat kesiapan mental pengamat pada waktu
pengamatan yang singkat akan lebih baik bagi pengamat yang terlatih, sikap
independen pengamat juga perlu dibentuk agar tidak mudah terpengaruh oleh
pengamat yang lainnya yang belum tentu benar, jangan berkata melihat Hilal
karena ada rekan yang bisa melihat Hilal dan juga sebaliknya bila yakin melihat
Hilal jangan ragu-ragu mengatakan berhasil melihat Hilal.
Pendek kata kejujuran dan profesionalisme sangat diperlukan
untuk pengamatan Hilal yang tergolong objek langit yang sulit. Sulitnya
pengamatan Hilal jangan juga mempersulit kehidupan kita. Pembentukan sikap
tersebut berkaitan erat dengan prospek pengamatan Hilal dengan mata bugil masih
akan memberi kontribusi bagi dunia ilmu pengetahuan tentang visibilitas Hilal
di equator. Indonesia negeri yang luas, pengamatan Hilal secara profesional di
banyak lokasi akan merupakan kontribusi umat Islam Indonesia pada umat Islam di
belahan Bumi lain dan dunia ilmu pengetahuan.
Bagi sebagian umat Islam yang berijtihad menggunakan metode hisab sebagai
landasan penentu awal bulan alih-alih metode observasi yang telah dibahas
sebelum ini, di antaranya berdasar pada ketiadaan dalil yang mengharuskan
merukyat bila hendak melakukan ibadah puasa Ramadan ataupun berhari raya.
Adapun hadis-hadis yang berkenaan dengan rukyat dan ibadah puasa dipahami
bukan sebagai dalil keharusan melakukan rukyat, melainkan dalil kewajiban
berpuasa dan berbuka (berhari raya) setelah diketahui munculnya hilal yang
menjadi penanda masuknya awal bulan yang baru[11].
Ketua Lajnah Falakiyah PBNU; Ghazalie Masroeri dalam pertemuan dengan Majelis
Tarjih Muhammadiyah di kantor PP Muhammadiyah, menegaskan kembali bahwa NU
tetap memakai hisab. Bahkan beberapa ahli di kalangan pengurus Lajnah Falakiyah
menyusun sendiri metode hisab dalam satu kitab. Namun demikian rukyatul hilal
tetap harus dilakukan[12].
Banyak kalangan yang mengira bahwa penentuan awal bulan Hijriah
dengan cara rukyatul hilal sangat awam dan kelihatan tidak atau kurang
berpengetahuan. Selain itu rukyat sangat menyulitkan dan menambah pekerjaan,
sia-sia dan membuang-buang waktu karena harus bersusah-susah mencari bulan pada
tanggal setiap tanggal 29 pada kalender Hijriah. Karena sebagian berpendapat
bahwa metode hisab atau perhitungan astronomis yang relatif mudah dan kelihatan
berpengetahuan (baca ilmiah). Tetapi sebenarnya persoalannya ternyata tidak
sesederhana itu. Rukyatul hilal dalam bahasa yang lebih ilmiyah adalah semacam
observasi untuk membuktikan berbagai perkiraan mengenai datangnya awal bulan.
Rukyat berfungsi untuk mencapai akurasi tertinggi[13].
Rukyatul hilal juga bernilai ibadah (ta’abuddi) karena
diperintahkan secara langsung oleh nabi Muhammad saw. Rukyat juga punya
nilai tafakkur dan tadabbur kepada ciptaan
Allah karena dengan melakukan itu maka secara otomatis umat Islam akan berfikir
mengenai alam, Matahari, Bulan dan jutaan bintang, yang akan menambah keimanan
kepada sang Khaliq[14].
Kalangan Muhammadiyah berpandangan bahwa rukyatul hilal
diperintahkan oleh Nabi Muhammad karena ada illat atau penyebabnya. Pada waktu
itu masyarakat masih awam dan belum berpengetahuan. “Karena situasi waktu itu
umat Islam belum mampu melakukan hal itu karena ilmu pengetahuan itu belum
berkembang luas,” kata Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih PP Muhammdiyah.
Pendapat ini dibantah oleh Lajnah Falakiyah NU. Bahwa pada saat itu bukan
berarti nabi Muhammad dan para sahabat sama sekali tidak mengerti ilmu hisab.
Paling tidak ilmu hisab sudah berkembang meski di luar Arab, dan iklim dagang
sangat memungkinkan untuk saling bertukar informasi dan ilmu pengetahuan. Namun
memang demikianlah bahwa pada priode awal, bahwa awal bulan Hijriah ditentukan
oleh rukyatul hilal atau observasi langsung itu[15].
Ada pertanyaan-pertanyaan pelik yang dilontarkan Lajnah
Falakiyah NU kepada Majelis Tarjih Muhammdiyah, kalau rukyat tidak dilakukan
kemudian hanya menggunakan hisab saja. Yakni terkait dengan hadis nabi Muhammad
yang jumlahnya lebih dari dua puluh hadis yang memerintahkan untuk melakukan
rukyah. Jika tidak fungsional, apakah hadis-hadis tersebut dibuang atau diabaikan.
Dalam hadis ditegaskan juga bahwa apabila bulan tidak terlihat karena tertutup
awan maka umat Islam diperintahkan untuk menyempurnakan ibadah puasa hingga 30
hari. Sederhana saja, umat Islampun bisa terlibat semuanya, dan ini tentu
memudahkan umat Islam dalam menentukan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijah,
apalagi kini dibantu dengan alat teropong rukyah[16].
Hal-Hal yang Mempengaruhi Keberhasilan
Pelaksanaan
Praktik Rukyatul Hilal
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
praktik rukyatul hilal, sebagai berikut:
1. Faktor cuaca.
Apabila di ufuk Barat terdapat awan tebal, maka hal ini
menyulitkan rukyatul hilal. Mungkin saja rukyatul hilal gagal; tidak dapat
dilaksanakan. Rukyah dilaksanakan dalam keadaan cuaca cerah dan tidak
terdapat penghalang antara perukyah dan hilal. Penghalang ini bisa saja berupa
awan, asap, maupun kabut.
2. Faktor Hilal yang diobservasi
Kondisi hilal yang akan diobservasi, juga menjadi hal penting
untuk menunjang visibilitas hilal:
a. beda tinggi hilal dan
Matahari
b. beda azimut hilal dan Matahari
c. jarak elongasi
d. umur bulan
e. fraksi eluminasi
f. garis batas tanggal
bulan Hijriah[17]
g. paralaks horison
h. refraksi angkasa
i. kerendahan
ufuk[18]
3. Faktor manusia[19].
Untuk melakukan praktik rukyatul hilal, seseorang itu harus
memiliki keterampilan tertentu, antara lain:
a. Sebagaimana dijelaskan di
atas bahwa bagi mata orang awam yang belum terlatih melakukan rukyah akan
menemui kesulitan menemukan hilal yang dimaksud. Terkait dengan warna
hilal yang lembut dan tidak kontras dengan langit yang melatarbekanginya[20].
b. Mengetahui posisi hilal saat
Matahari terbenam (ghurub). Sehingga ketika proses rukyah, ia tidak
melihat ke arah yang salah dan tentu saja ia tidak akan menemukan hilal pada
arah (yang salah) tersebut. Data-data ini diperoleh dari perhitungan hisab.
c. Seorang yang akan
melakukan rukyatul hilal juga harus mengetahui bentuk hilal yang dimaksud.
Menurut penuturan Sriyatin Shadiq, pernah ada kesaksian beberapa orang yang
telah melihat hilal awal bulan, dan setelah diklarifikasi bentuk hilal yang
mereka lihat ternyata posisi hilal yang seharus “telentang” tapi menurut mereka
“telungkup” tentu saja pengakuan ini dianggap aneh dan tidak masuk akal.[21]
d. Hasil rukyah tersebut tidak
bertentangan dengan perhitungan yang telah disepakati bersama menurut
perhitungan ilmu hisab yang qath’i (terjadi kesepakatan ahli
Falak).
Persiapan dan Pelaksanaan Rukyatul Hilal di
Lapangan
Dalam pelaksanaan rukyatul hilal, terlebih dahulu
dipersiapkan peralatan dan data-data yang butuhkan sebelum keberangkatan ke
tempat obsrvasi, antara lain:
1. Peralatan rukyah al-hilal:
a. Teodolit adalah alat yang
digunakan untuk menentukan tinggi dan azimut suatu benda langit. Alat ini
mempunyai dua buah sumbu, yaitu: sumbu vertikal untuk melihat skala ketinggian
benda langit. Dan sumbu horizontal untuk melihat skala azimutnya, sehingga
teropongnya yang digunakan untuk mengincar benda langit dapat bebas bergerak ke
semua arah[22].
b. Kompas adalah alat penunjuk
arah mata angin. Kompas merupakan salah satu alat penting dalam kegiatan
praktik rukyatul hilal. Ketika menggunakannya hendaklah diperhatikan agar
terhindar dari pengaruh medan magnet benda-benda yang mengandung medan magnet
yang berada di sekitarnya. Karena komponen kompas itu antara lain adalah magnet
maka dalam penggunaannya akan mudah terpengaruh oleh medan-medan magnet yang
terdapat di sekitarnya[23].
Karena medan magnet tersebut mempengaruhi arah yang seharusnya dituju
kompas sehingga arah yang ditunjukkan itu tidak akurat[24].
Dalam penggunaan kompas harus dikoreksi dengan koreksian magnetik untuk daerah
tersebut. Daftar besaran koreksi tersebut dapat diperoleh dari BMG (Badan
Meteorologi dan Geofisika).
c. GPS (Global
Positioning System): Alat ukur koordinat dengan menggunakan satelit yang
dapat mengetahui posisi lintang, bujur, ketinggian tempat, jarak dan lain-lain[25].
d. Benang, paku, dan meteran untuk
membuat Benang Azimut. Benang Azimut adalah benang-benang yang telah diukur
dengan kepanjangan tertentu dan ditambatkan dengan paku setelah
ditentukan terlebih dahulu arah-arah yang dimaksudkan. Di antaranya,
benang yang menunjukkan arah Utara sejati, Barat sejati, azimut hilal dan
azimut Matahari sesuai dengan data-data hasil hisab. Benang azimut ini adalah
salah satu alat tradisional yang digunakan oleh para ahli Falak dalam merukyah
hilal.
e. Gawang lokasi; semacam
tiang-tiang yang dipancangkan yang berguna mengarah dan menfokuskan pandangan
kita pada saat tertentu. Dalam penggunaannya tentu saja merujuk data-data hasil
hisab.
f. Teleskop adalah
alat pencitraan benda-benda yang jarak jauh. Digunakan dalam praktek rukyatul
hilal untuk mengintip hilal.
g. Jam untuk petunjuk waktu;
waktu terbenamnya Matahari dan waktu lamanya hilal dalam posisi imkanur rukyah
(hilal dapat dirukyah).
2. Data-data yang dibutuhkan dalam
praktik rukyatul hilal
Data perhitungan awal bulan untuk tempat pelaksanaan rukyah yang
telah diperlukan seperti data tentang beda tinggi Bulan dan
Matahari, beda azimut Bulan dan Matahari, jarak busur Bulan dan Matahari,
umur Bulan, luas Hilal dan sebagainya. Sebagai gambaran diulas tentang
observasi hilal awal bulan Muharrom 1430 H yang dilaksanakan di pantai
Bandengan, yang merupakan bagian dari daerah Jepara. Maka dibutuhkan data
perhitungan awal bulan untuk daerah Jepara. Data ini telah dihitung sebelumnya.
Antara lain: Penentuan waktu Ijtimak atau konjungsi atau Bulan baru, Waktu
Matahari terbenam dan Bulan terbenam, Posisi Bulan pada saat Matahari terbenam
Matahari, dan Obyek terang (bintang terang, planet dan lain sebagainya di
sekitar lokasi Bulan jika ada saat observasi).
Data observasi awal bulan yang digunakan adalah perhitungan
kitab Syams al-Hilal dan kitabNur al-Anwar karangan
Noor Ahmad SS. Dalam penentuan waktu Ijtimak menggunakan perhitungan
kitab Syams al-Hilal dan untuk penghitungan lainnya dengan
menggunakan perhitungan berdasarkan kitab Nur al-Anwar. Adapun data
itu adalah sebagai berikut:
a. Data kitab Syam
al-Hilal
Awal Muharrom 1430 H
1) Ijtimak pada
: hari sabtu/ malam Minggu
2) Jam
: 0.58
3) Tinggi
Hilal
:
11 52/100 derajat
4) Tinggi Hilal dengan meter
: 8,29 m
5) Lamanya di atas
ufuk
: 46,32 menit
6) Keadaan
Hilal
: miring ke utara tegak turus
7) Besar cahaya
Hilal
:
4/5 jari
b. Data kitab Nur al-Anwar
Awal Muharrom 1430H
1) 1 Muharrom
1430H
: Senin, 29 Desember 2008
2)
Ijtimak
: Sabtu, 27 Desember 2008
3)
Jam
: 19.18 WIB
4) Tinggi
Hilal
: 9.5.22
5) Letak
Matahari
: -23,25.22 (dari Barat ke Selatan)
6) Kedudukan
Hilal
: -0,14,47 (Selatan Matahari)
7) Keadaan
Hilal
: Telentang
8) Lama di atas
Ufuk
: 0 jam 40 menit 55 detik
9) Besar
Cahaya
: 0,716 (7/10)
Data-data itu yang akan dijadikan acuan dalam pelaksanaan
praktik rukyatul hilal.
Ijtimak adalah peristiwa segaris/sebidangnya pusat Bulan dan
pusat Matahari dari pusat Bumi. Dalam astronomi pada saat demikian Bulan dan
Matahari memiliki bujur ekliptika atau bujur astronomi yang sama. Posisi
demikian ditandai fraksi iluminasi (persentase penampakan cahaya hilal terhadap
cahaya bulan penuh) minimum. Pada saat posisi-posisi tertentu yang istimewa,
yakni bumi, bulan dan matahari segaris ditandai berlangsungnya gerhana matahari
di permukaan Bumi. Tidak setiap ijtimak berlangsung gerhana Matahari, karena
bidang orbit bulan miring sekitar 5,2 derajat busur terhadap bidang ekliptika
(bidang orbit bumi mengedari matahari); Selain itu garis perpotongan kedua
bidang orbit tersebut bergerak[26].
Ijtimak berlangsung pada saat yang bersamaan di seluruh
permukaan Bumi. Walaupun seringkali dinyatakan dalam waktu lokal atau waktu
setempat. Adanya perbedaan waktu lokal di berbagai tempat di muka bumi terjadi
akibat perbedaan ketinggian Matahari dari pengamat saat berlangsungnya ijtimak[27].
Melanjutkan kembali tentang pelaksanaan observasi, sesampainya di
lokasi pantai Bandengan, lalu mulailah dilakukan pemasangan alat atau media
rukyah yaitu: benang azimut, teodolit dan teleskop. Kemudian dilakukan
pengecekan waktu agar terdapat ketepatan dan kesamaan waktu yang digunakan baik
oleh panitia dan peserta pelatihan dalam penentuan waktu pelaksanaan rukyah
al-hilal. Pengecekan waktu ini dengan menelpon BMG, atau dengan menghubungi
operator dari masing-masing melalui hand phone, atau menghubungi RRI (Radio
Republik Indonesia) pada nomor 105 setempat[28].
Kira-kira lima belas menit sebelum tenggat waktu perukyahan,
diadakanlah acara seremonial. Pada acara tersebut, ada pengarahan dari panitia
dan doa bersama. Dalam pengarahannya dinyatakan beberapa hal:
1. Untuk terampil dalam merukyah
hilal ini berproses. Keterampilan ini harus terus diasah, misalnya dengan terus
mempraktikkan rukyah al-hilal pada setiap awal bulannya. Dengan terus latihan
barulah seseorang itu terampil dan ahli.
2. Penggunaan kompas membantu
untuk menentukan true north. Untuk mendapatkan true north harus
diadakan koreksi deklinasi magnetis. Koreksi ini tidak sama untuk setiap
saat dan tempat. Koreksi untuk penggunaan kompas di pulau Jawa, untuk daerah di
utara khatulistiwa + 1,5 derajat dan untuk daerah bagian selatan khatulistiwa
–1,5 derajat[29].
3. Karena posisi hilal selama
proses rukyah itu tidak tetap, namun sedikit demi sedikit dari menit ke menit
akan turun ke ufuk. Maka ketika merukyah hilal mata kita tidak tetap pada
posisi awal ketika hilal dapat dirukyah (pada saat terbenan matahari) tapi juga
turun mengikuti turunnya hilal.
4. Untuk membuat mata kita
lebih awas dalam memantau posisi hilal, tipsnya antara lain ketika melihat
hilal hendaknya tidak memantau ke arah hilal itu secara terus menerus tapi
lihatlah ke arah hilal beberapa waktu lalu pejamkan mata beberapa saat lalu
setelah itu ulangi melihat ke arah hilal. Lakukan secara berulang-ulang. Hal
ini terkait dengan tidak begitu kontrasnya warna langit yang melatarbelakangi
hilal yang akan kita rukyah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya[30].
Lalu pengarahan ini ditutup dengan do’a. Di antara doa yang
dipanjatkan KH Noor Ahmad SS adalah,”Alahumma yassir lanaa ziarah makkah wa
ka’bah wa al-madiinah fi al-ayyaam al-aatiyah wa fi kulli yaumin ma’a
as-salaamah”. (ya Allah mudahkanlah jalan bagi kami untuk mengunjungi kota
Makah, ka’bah, dan kota Madinah pada masa-masa yang akan datang dan setiap
harinya dengan penuh keselamatan [setiap harinya dalam salat maupun ketika
mengunjungi kota Makah, ka’bah, dan kota Madinah nantinya]).Do’a ini menurutnya
terkait dengan praktik rukyah al-hilal yang salah satu fokus dalam kajiannya
adalah posisi ka’bah[31].
Tepat waktu maghrib—terbenamnya Matahari praktik rukyat
al-hilalpun dilaksanakan. Seluruhnya lalu mengarahkan pandangannya ke posisi
yang telah diperhitungkan sebelumnya sebagai posisi hilal yang akan dirukyah.
Dalam pelaksanaan rukyah juga dapat menggunakan media yang telah disiapkan.
Setelah kira-kira dua puluh menit mencoba merukyah, namun karena
terdapat awal tebal pada posisi hilal yang akan dirukyah, maka hilalpun tidak
berhasil dirukyah. Akhirnya diumumkan bahwa hilal tidak bisa dirukyah karena
terhalang awan tebal dan seluruh kontingen diharapkan kembali ke kendaraan
masing-masing untuk bersiap pulang.
Pengamatan hilal menunggu kesempatan meredupnya senja dan Bulan
masih berada di atas ufuk/horizon. Pada saat meredupnya senja diafragma mata
pengamat langit malam akan membesar. Membesarnya diafragma mata berarti makin
banyak foton dari cahaya hilal yang bisa dikoleksi oleh lensa mata sehingga
mempunyai kesempatan untuk bisa dikenali oleh mata manusia bila jumlah foton
sudah melewati suatu batas ambang pengenalan objek[32].
Waktu terbaik untuk pengamatan /rukyat hilal adalah dua puluh
menit setelah matahari terbenam (sunset) karena sinar matahari sudah
tidak mengganggu. Namun karena cuaca mendung itu hilal tidak mungkin terlihat[33].
Tentu saja hilal yang masih dapat dirukyah setelah dua puluh menit
matahari terbenam adalah hilal yang cukup tinggi. Jika diasumsikan hilal 1˚
berada di atas horizon selama empat menit, maka dibutuhkan ketinggian hilal
lebih dari 5˚ untuk dapat dirukyah dengan tanpa gangguan cahaya matahari.
from : http://syafrudin52.wordpress.com/2011/07/31/rukyatul-hilal-dalam-penetapan-awal-bulan-kamariah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar