Jumat, 20 Juli 2012

RUKYATUL HILAL


HISAB
Hisab secara harfiah 'perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi Matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi Matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu salat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fithri), serta awal Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).
Dalam Al-Qur'an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Allah memang sengaja menjadikan Matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar-Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.


Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda langit (khususnya Matahari dan bulan) maka sejak awal peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi. Astronom muslim ternama yang telah mengembangkan metode hisab modern adalah Al Biruni (973-1048 M), Ibnu TariqAl KhawarizmiAl Batani, dan Habash.
Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (software) yang praktis juga telah ada. Hisab seringkali digunakan sebelum rukyat dilakukan. Salah satu hasil hisab adalah penentuan kapan ijtimak terjadi, yaitu saat Matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi sebidang atau disebut pula konjungsi geosentris. Konjungsi geosentris terjadi pada saat matahari dan bulan berada di posisi bujur langit yang sama jika diamati dari bumi. Ijtimak terjadi 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu periode sinodik.
RUKYAT
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.
Aktivitas rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya Matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah memasuki tanggal 1.
Namun demikian, tidak selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya Matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan "cahaya langit" sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 7 derajat. [1]
Dewasa ini rukyat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi CCD Imaging. namun tentunya perlu dilihat lagi bagaimana penerapan kedua ilmu tersebut
Urgensi Rukyatul Hilal
Pengurus Lajnah Falakiyah PBNU, Hendro Setyanto secara optimis mengatakan bahwa rukyatul hilal atau dalam bahasa lain observasi menyebabkan disiplin ilmu astronomi terus berkembang hingga saat ini. Tanpa observasi itu ilmu astronomi akan mandeg dan umat Islam hanya mengandalkan data astronomis, apalagi sekarang data itu tidak dikembangkan sendiri tapi diperoleh begitu saja dari kalangan non Muslim[7].
Sejatinya, kegiatan observasi dan eksperimen merupakan asas semua cabang ilmu alam. Melalui kegiatan tersebut diperoleh data, yang setelah melalui proses reduksi dan pengolahan, disintesiskan menjadi sebuah model atau teori tentang suatu fenomena alam. Model atau teori tersebut sepatutnya mampu menerangkan fenomena alam yang dikenal dan bahkan dapat memprediksi hal-hal baru yang belum dijumpai yang kebenarannya akan dibuktikan melalui observasi dan eksperimen baru.
            Oleh karenanya, dengan alasan ilmiah, yaitu bahwa kegiatan observasi hilal yang dilakukan memiliki peran dalam upaya menentu-sahkan (verification) pemodelan matematis yang telah dibuat, kegiatan tersebut memiliki relevansi yang tak terbantahkan. Lebih dari sekadar informasi bahwa ketinggian hilal di cakrawala Barat saat Matahari terbenam adalah positif, metode observasi ini juga mensyaratkan terlihatnya hilal baik dengan mata telanjang ataupun menggunakan alat pada ketinggian tersebut.
            Selain itu, data astronomi bersifat dinamis karena posisi benda-benda langit yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Dengan demikian, kegiatan observasi untuk memperoleh data mutakhir mutlak diperlukan agar perbedaan (jika ada) antara hasil pemodelan menggunakan data terkait dan hasil pengujian empiris di lapangan dapat semakin diminimalkan. Dengan kata lain, observasi hilal diperlukan untuk pengembangan sains hilal itu sendiri[8].  Rukyat ini  menurut Ghazalie Masroerie, dengan kata lain sekaligus menjadi sarana koreksi atas hitungan hisab[9].
            Dengan mengamati keteraturan gerak Matahari dan Bulan, manusia telah dapat merumuskan dan memodelkan gerak benda-benda langit tersebut untuk keperluan praktis sehari-hari. Bahkan dengan menyertakan faktor koreksi, pergerakan benda-benda langit untuk kurun masa yang akan datang pun telah dapat ditentukan dengan cermat. Inilah yang dimaksud dengan hisab. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan ini, berkembang pula pemahaman terhadap nash agama yang membuat observasi/rukyat tidak lagi menjadi satu-satunya metode dalam penentuan awal bulan[10].
Pengalaman pengamatan Hilal berulang-ulang perlu dilakukan bagi seorang pengamat atau bagi yang mau menekuni sebagai pemburu Hilal. Pengalaman akan dapat memberi saran perbaikan bagaimana cara efektif untuk mengamati Hilal (misalnya cara mencari lokasi Hilal di langit, sistem pencatatan dan merancang alat bantu sederhana untuk pengamatan Hilal). Pengalaman akan membentuk sikap kritis dalam menilai apakah yang sedang diamati sebuah Hilal atau bukan. Atau menemukan pengalaman baru melihat Hilal termuda dengan membandingkan hasil pengamatan baru dengan ingatan dan pengalaman yang sudah-pernah diperoleh.
Pengalaman berbeda akan memberi judgement yang berbeda, daya lihat pengamatan juga berbeda. Derajat kesiapan mental pengamat pada waktu pengamatan yang singkat akan lebih baik bagi pengamat yang terlatih, sikap independen pengamat juga perlu dibentuk agar tidak mudah terpengaruh oleh pengamat yang lainnya yang belum tentu benar, jangan berkata melihat Hilal karena ada rekan yang bisa melihat Hilal dan juga sebaliknya bila yakin melihat Hilal jangan ragu-ragu mengatakan berhasil melihat Hilal.
Pendek kata kejujuran dan profesionalisme sangat diperlukan untuk pengamatan Hilal yang tergolong objek langit yang sulit. Sulitnya pengamatan Hilal jangan juga mempersulit kehidupan kita. Pembentukan sikap tersebut berkaitan erat dengan prospek pengamatan Hilal dengan mata bugil masih akan memberi kontribusi bagi dunia ilmu pengetahuan tentang visibilitas Hilal di equator. Indonesia negeri yang luas, pengamatan Hilal secara profesional di banyak lokasi akan merupakan kontribusi umat Islam Indonesia pada umat Islam di belahan Bumi lain dan dunia ilmu pengetahuan.
            Bagi sebagian umat Islam yang berijtihad menggunakan metode hisab sebagai landasan penentu awal bulan alih-alih metode observasi yang telah dibahas sebelum ini, di antaranya berdasar pada ketiadaan dalil yang mengharuskan merukyat bila hendak melakukan ibadah puasa Ramadan ataupun berhari raya. Adapun hadis-hadis yang berkenaan  dengan rukyat dan ibadah puasa dipahami bukan sebagai dalil keharusan melakukan rukyat, melainkan dalil kewajiban berpuasa dan berbuka (berhari raya) setelah diketahui munculnya hilal yang menjadi penanda masuknya awal bulan yang baru[11].
            Ketua Lajnah Falakiyah PBNU; Ghazalie Masroeri dalam pertemuan dengan Majelis Tarjih Muhammadiyah di kantor PP Muhammadiyah, menegaskan kembali bahwa NU tetap memakai hisab. Bahkan beberapa ahli di kalangan pengurus Lajnah Falakiyah menyusun sendiri metode hisab dalam satu kitab. Namun demikian rukyatul hilal tetap harus dilakukan[12].
Banyak kalangan yang mengira bahwa penentuan awal bulan Hijriah dengan cara rukyatul hilal sangat awam dan kelihatan tidak atau kurang berpengetahuan. Selain itu rukyat sangat menyulitkan dan menambah pekerjaan, sia-sia dan membuang-buang waktu karena harus bersusah-susah mencari bulan pada tanggal setiap tanggal 29 pada kalender Hijriah. Karena sebagian berpendapat bahwa metode hisab atau perhitungan astronomis yang relatif mudah dan kelihatan berpengetahuan (baca ilmiah). Tetapi sebenarnya persoalannya ternyata tidak sesederhana itu. Rukyatul hilal dalam bahasa yang lebih ilmiyah adalah semacam observasi untuk membuktikan berbagai perkiraan mengenai datangnya awal bulan. Rukyat berfungsi untuk mencapai akurasi tertinggi[13].
Rukyatul hilal juga bernilai ibadah (ta’abuddi) karena diperintahkan secara langsung oleh nabi Muhammad saw. Rukyat juga punya nilai tafakkur dan tadabbur kepada ciptaan Allah karena dengan melakukan itu maka secara otomatis umat Islam akan berfikir mengenai alam, Matahari, Bulan dan jutaan bintang, yang akan menambah keimanan kepada sang Khaliq[14].
Kalangan Muhammadiyah berpandangan bahwa rukyatul hilal diperintahkan oleh Nabi Muhammad karena ada illat atau penyebabnya. Pada waktu itu masyarakat masih awam dan belum berpengetahuan. “Karena situasi waktu itu umat Islam belum mampu melakukan hal itu karena ilmu pengetahuan itu belum berkembang luas,” kata Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih PP Muhammdiyah. Pendapat ini dibantah oleh Lajnah Falakiyah NU. Bahwa pada saat itu bukan berarti nabi Muhammad dan para sahabat sama sekali tidak mengerti ilmu hisab. Paling tidak ilmu hisab sudah berkembang meski di luar Arab, dan iklim dagang sangat memungkinkan untuk saling bertukar informasi dan ilmu pengetahuan. Namun memang demikianlah bahwa pada priode awal, bahwa awal bulan Hijriah ditentukan oleh rukyatul hilal atau observasi langsung itu[15].
Ada pertanyaan-pertanyaan pelik yang dilontarkan Lajnah Falakiyah NU kepada Majelis Tarjih Muhammdiyah, kalau rukyat tidak dilakukan kemudian hanya menggunakan hisab saja. Yakni terkait dengan hadis nabi Muhammad yang jumlahnya lebih dari dua puluh hadis yang memerintahkan untuk melakukan rukyah. Jika tidak fungsional, apakah hadis-hadis tersebut dibuang atau diabaikan. Dalam hadis ditegaskan juga bahwa apabila bulan tidak terlihat karena tertutup awan maka umat Islam diperintahkan untuk menyempurnakan ibadah puasa hingga 30 hari. Sederhana saja, umat Islampun bisa terlibat semuanya, dan ini tentu memudahkan umat Islam dalam menentukan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijah, apalagi kini dibantu dengan alat teropong rukyah[16].
Hal-Hal yang Mempengaruhi Keberhasilan Pelaksanaan
Praktik Rukyatul Hilal
 Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan praktik rukyatul hilal, sebagai berikut:
1.      Faktor cuaca.
Apabila di ufuk Barat terdapat awan tebal, maka hal ini menyulitkan rukyatul hilal. Mungkin saja rukyatul hilal gagal; tidak dapat dilaksanakan. Rukyah  dilaksanakan dalam keadaan cuaca cerah dan tidak terdapat penghalang antara perukyah dan hilal. Penghalang ini bisa saja berupa awan, asap, maupun kabut.
2.      Faktor Hilal yang diobservasi
Kondisi hilal yang akan diobservasi, juga menjadi hal penting untuk menunjang visibilitas hilal:
a.       beda tinggi hilal dan Matahari
b.      beda azimut hilal dan Matahari
c.       jarak elongasi
d.      umur bulan
e.       fraksi eluminasi
f.        garis batas tanggal bulan Hijriah[17]
g.       paralaks horison
h.       refraksi angkasa
i.         kerendahan ufuk[18]
3.      Faktor manusia[19].
Untuk melakukan praktik rukyatul hilal, seseorang itu harus memiliki keterampilan tertentu, antara lain:
a.       Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa bagi mata orang awam yang belum terlatih melakukan rukyah akan menemui  kesulitan menemukan hilal yang dimaksud. Terkait dengan warna hilal yang lembut dan tidak kontras dengan langit yang melatarbekanginya[20].
b.      Mengetahui posisi hilal saat Matahari terbenam (ghurub). Sehingga ketika proses rukyah, ia tidak melihat ke arah yang salah dan tentu saja ia tidak akan menemukan hilal pada arah (yang salah) tersebut. Data-data ini diperoleh dari perhitungan hisab.
c.       Seorang yang akan melakukan rukyatul hilal juga harus mengetahui bentuk hilal yang dimaksud. Menurut penuturan Sriyatin Shadiq, pernah ada kesaksian beberapa orang yang telah melihat hilal awal bulan, dan setelah diklarifikasi bentuk hilal yang mereka lihat ternyata posisi hilal yang seharus “telentang” tapi menurut mereka “telungkup” tentu saja pengakuan ini dianggap aneh dan tidak masuk akal.[21]
d.      Hasil rukyah tersebut tidak bertentangan dengan perhitungan yang telah disepakati bersama menurut perhitungan ilmu hisab yang qath’i (terjadi kesepakatan ahli Falak).
Persiapan dan Pelaksanaan Rukyatul Hilal di Lapangan
Dalam pelaksanaan rukyatul hilal, terlebih dahulu dipersiapkan peralatan dan data-data yang butuhkan sebelum keberangkatan ke tempat obsrvasi, antara lain:
1.      Peralatan rukyah al-hilal:
a.       Teodolit adalah alat yang digunakan untuk menentukan tinggi dan azimut suatu benda langit. Alat ini mempunyai dua buah sumbu, yaitu: sumbu vertikal untuk melihat skala ketinggian benda langit. Dan sumbu horizontal untuk melihat skala azimutnya, sehingga teropongnya yang digunakan untuk mengincar benda langit dapat bebas bergerak ke semua arah[22].
b.      Kompas adalah alat penunjuk arah mata angin. Kompas merupakan salah satu alat penting dalam kegiatan praktik rukyatul hilal. Ketika menggunakannya hendaklah diperhatikan agar terhindar dari pengaruh medan magnet benda-benda yang mengandung medan magnet yang berada di sekitarnya. Karena komponen kompas itu antara lain adalah magnet maka dalam penggunaannya akan mudah terpengaruh oleh medan-medan magnet yang terdapat di sekitarnya[23]. Karena medan magnet tersebut mempengaruhi arah yang seharusnya dituju  kompas sehingga arah yang ditunjukkan itu tidak akurat[24]. Dalam penggunaan kompas harus dikoreksi dengan koreksian magnetik untuk daerah tersebut. Daftar besaran koreksi tersebut dapat diperoleh dari BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika).
c.       GPS (Global Positioning System): Alat ukur koordinat dengan menggunakan satelit yang dapat mengetahui posisi lintang, bujur, ketinggian tempat, jarak dan lain-lain[25].
d.      Benang, paku, dan meteran untuk membuat Benang Azimut. Benang Azimut adalah benang-benang yang telah diukur dengan kepanjangan tertentu dan ditambatkan dengan paku  setelah ditentukan  terlebih dahulu arah-arah yang dimaksudkan. Di antaranya, benang  yang menunjukkan arah Utara sejati, Barat sejati, azimut hilal dan azimut Matahari sesuai dengan data-data hasil hisab. Benang azimut ini adalah salah satu alat tradisional yang digunakan oleh para ahli Falak dalam merukyah hilal.
e.       Gawang lokasi; semacam tiang-tiang yang dipancangkan yang berguna mengarah dan menfokuskan pandangan kita pada saat tertentu. Dalam penggunaannya tentu saja merujuk data-data hasil hisab.
f.        Teleskop adalah alat pencitraan benda-benda yang jarak jauh. Digunakan dalam praktek rukyatul hilal untuk mengintip hilal.
g.       Jam untuk petunjuk waktu; waktu terbenamnya Matahari dan waktu lamanya hilal dalam posisi imkanur rukyah (hilal dapat dirukyah).
2.      Data-data yang dibutuhkan dalam praktik rukyatul hilal
Data perhitungan awal bulan untuk tempat pelaksanaan rukyah yang telah diperlukan seperti data tentang  beda tinggi Bulan dan Matahari,  beda azimut Bulan dan Matahari, jarak busur Bulan dan Matahari, umur Bulan, luas Hilal dan sebagainya. Sebagai gambaran diulas tentang observasi hilal awal bulan Muharrom 1430 H yang dilaksanakan di pantai Bandengan, yang merupakan bagian dari daerah Jepara. Maka dibutuhkan data perhitungan awal bulan untuk daerah Jepara. Data ini telah dihitung sebelumnya. Antara lain: Penentuan waktu Ijtimak atau konjungsi atau Bulan baru, Waktu Matahari terbenam dan Bulan terbenam, Posisi Bulan pada saat Matahari terbenam Matahari, dan Obyek terang (bintang terang, planet dan lain sebagainya di sekitar lokasi Bulan jika ada saat observasi).
Data observasi awal bulan yang digunakan adalah perhitungan kitab Syams al-Hilal dan kitabNur al-Anwar karangan Noor Ahmad SS. Dalam penentuan waktu Ijtimak menggunakan perhitungan kitab Syams al-Hilal dan untuk penghitungan lainnya dengan menggunakan perhitungan berdasarkan kitab Nur al-Anwar. Adapun data itu adalah sebagai berikut:
a.       Data kitab Syam al-Hilal
Awal Muharrom 1430 H
1)      Ijtimak  pada                                  : hari sabtu/ malam Minggu
2)      Jam                                                : 0.58
3)      Tinggi Hilal                                     : 11 52/100 derajat
4)      Tinggi Hilal dengan meter                : 8,29 m
5)      Lamanya di atas ufuk                      : 46,32 menit
6)      Keadaan Hilal                                 : miring ke utara tegak turus
7)      Besar cahaya Hilal                            : 4/5 jari
b.      Data kitab Nur al-Anwar
Awal Muharrom 1430H
1)      1 Muharrom 1430H                       : Senin, 29 Desember 2008
2)      Ijtimak                                            : Sabtu, 27 Desember 2008
3)      Jam                                                : 19.18 WIB
4)      Tinggi Hilal                                     : 9.5.22
5)      Letak Matahari                               : -23,25.22 (dari Barat ke Selatan)
6)      Kedudukan Hilal                             : -0,14,47 (Selatan Matahari)
7)      Keadaan Hilal                                 : Telentang
8)      Lama di atas Ufuk                          : 0 jam 40 menit 55 detik
9)      Besar Cahaya                                 : 0,716 (7/10)
Data-data itu  yang akan dijadikan acuan dalam pelaksanaan praktik rukyatul hilal.
Ijtimak adalah peristiwa segaris/sebidangnya pusat Bulan dan pusat Matahari dari pusat Bumi. Dalam astronomi pada saat demikian Bulan dan Matahari memiliki bujur ekliptika atau bujur astronomi yang sama. Posisi demikian ditandai fraksi iluminasi (persentase penampakan cahaya hilal terhadap cahaya bulan penuh) minimum. Pada saat posisi-posisi tertentu yang istimewa, yakni bumi, bulan dan matahari segaris ditandai berlangsungnya gerhana matahari di permukaan Bumi. Tidak setiap ijtimak berlangsung gerhana Matahari, karena bidang orbit bulan miring sekitar 5,2 derajat busur terhadap bidang ekliptika (bidang orbit bumi mengedari matahari); Selain itu garis perpotongan kedua bidang orbit tersebut bergerak[26].
Ijtimak berlangsung pada saat yang bersamaan di seluruh permukaan Bumi. Walaupun seringkali dinyatakan dalam waktu lokal atau waktu setempat. Adanya perbedaan waktu lokal di berbagai tempat di muka bumi terjadi akibat perbedaan ketinggian Matahari dari pengamat saat berlangsungnya ijtimak[27].
Melanjutkan kembali tentang pelaksanaan observasi, sesampainya di lokasi pantai Bandengan, lalu mulailah dilakukan pemasangan alat atau media rukyah yaitu: benang azimut, teodolit dan teleskop. Kemudian dilakukan pengecekan waktu agar terdapat ketepatan dan kesamaan waktu yang digunakan baik oleh panitia dan peserta pelatihan dalam penentuan waktu pelaksanaan rukyah al-hilal. Pengecekan waktu ini dengan menelpon BMG, atau dengan menghubungi operator dari masing-masing melalui hand phone, atau menghubungi RRI (Radio Republik Indonesia) pada nomor 105 setempat[28].
Kira-kira lima belas menit sebelum tenggat waktu perukyahan, diadakanlah acara seremonial. Pada acara tersebut, ada pengarahan dari panitia dan doa bersama. Dalam pengarahannya dinyatakan beberapa hal:
1.      Untuk terampil dalam merukyah hilal ini berproses. Keterampilan ini harus terus diasah, misalnya dengan terus mempraktikkan rukyah al-hilal pada setiap awal bulannya. Dengan terus latihan barulah seseorang itu terampil dan ahli.
2.      Penggunaan kompas membantu untuk menentukan true north. Untuk mendapatkan true north harus diadakan koreksi deklinasi  magnetis. Koreksi ini tidak sama untuk setiap saat dan tempat. Koreksi untuk penggunaan kompas di pulau Jawa, untuk daerah di utara khatulistiwa + 1,5 derajat dan untuk daerah bagian selatan khatulistiwa –1,5 derajat[29].
3.      Karena posisi hilal selama proses rukyah itu tidak tetap, namun sedikit demi sedikit dari menit ke menit akan turun ke ufuk. Maka ketika merukyah hilal mata kita tidak tetap pada posisi awal ketika hilal dapat dirukyah (pada saat terbenan matahari) tapi juga turun mengikuti turunnya hilal.
4.       Untuk membuat mata kita lebih awas dalam memantau posisi hilal, tipsnya antara lain ketika melihat hilal hendaknya tidak memantau ke arah hilal itu secara terus menerus tapi lihatlah ke arah hilal beberapa waktu lalu pejamkan mata beberapa saat lalu setelah itu ulangi melihat ke arah hilal. Lakukan secara berulang-ulang. Hal ini terkait dengan tidak begitu kontrasnya warna langit yang melatarbelakangi hilal yang akan kita rukyah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya[30].
Lalu pengarahan ini ditutup dengan do’a. Di antara doa yang dipanjatkan KH Noor Ahmad SS adalah,”Alahumma yassir lanaa ziarah makkah wa ka’bah wa al-madiinah fi al-ayyaam al-aatiyah wa fi kulli yaumin ma’a as-salaamah”. (ya Allah mudahkanlah jalan bagi kami untuk mengunjungi kota Makah, ka’bah, dan kota Madinah pada masa-masa yang akan datang dan setiap harinya dengan penuh keselamatan [setiap harinya dalam salat maupun ketika mengunjungi kota Makah, ka’bah, dan kota Madinah nantinya]).Do’a ini menurutnya terkait dengan praktik rukyah al-hilal yang salah satu fokus dalam kajiannya adalah posisi ka’bah[31].
Tepat waktu maghrib—terbenamnya Matahari praktik rukyat al-hilalpun dilaksanakan. Seluruhnya lalu mengarahkan pandangannya ke posisi yang telah diperhitungkan sebelumnya sebagai posisi hilal yang akan dirukyah. Dalam pelaksanaan rukyah juga dapat menggunakan media yang telah disiapkan.
Setelah kira-kira dua puluh menit mencoba merukyah, namun karena terdapat awal tebal pada posisi hilal yang akan dirukyah, maka hilalpun tidak berhasil dirukyah. Akhirnya diumumkan bahwa hilal tidak bisa dirukyah karena terhalang awan tebal dan seluruh kontingen diharapkan kembali ke kendaraan masing-masing untuk bersiap pulang.
Pengamatan hilal menunggu kesempatan meredupnya senja dan Bulan masih berada di atas ufuk/horizon. Pada saat meredupnya senja diafragma mata pengamat langit malam akan membesar. Membesarnya diafragma mata berarti makin banyak foton dari cahaya hilal yang bisa dikoleksi oleh lensa mata sehingga mempunyai kesempatan untuk bisa dikenali oleh mata manusia bila jumlah foton sudah melewati suatu batas ambang pengenalan objek[32].
Waktu terbaik untuk pengamatan /rukyat hilal adalah dua puluh menit setelah matahari terbenam (sunset) karena sinar matahari sudah tidak mengganggu. Namun karena cuaca mendung itu hilal tidak mungkin terlihat[33]. Tentu saja  hilal yang masih dapat dirukyah setelah dua puluh menit matahari terbenam adalah hilal yang cukup tinggi. Jika diasumsikan hilal 1˚ berada di atas horizon selama empat menit, maka dibutuhkan ketinggian hilal lebih dari 5˚ untuk dapat dirukyah dengan tanpa gangguan cahaya matahari.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar