Rabu, 24 Oktober 2012

RUU Kamnas: Antara Kenangan dan Harapan

Adanya pandangan umum bahwa keamanan merupakan faktor terpenting yang dapat menjamin pelaksanaan rencana-rencana dan kesepakatan (konsensus) yang telah dinyatakan pada masa lampau memang dapat dimengerti karena mustahil negara dapat melangkah dalam tahapan-tahapan penting pemerintahan tanpa dukungan keamanan nasional yang memadai.

Hal yang menjadi perdebatan kemudian sejauh mana kita  perlu membatasi definisi keamanan itu. Dalam pengertian rasional sehari-hari setiap orang barangkali dapat mengartikan keamanan sebagai suatu kondisi tertib dan teratur. Keadaan yang berjalan sesuai aturan yang telah disepakati bersama. Jadi misalnya ada pihak yang keluar dari kesepakatan maka kita akan menyebut telah terjadi situasi yang mengganggu keamanan yang menyebabkan goncangan-goncangan sosial.
Kesepakatan ini memiliki arti penting bagi setiap pihak yang pada masa lampau dengan beberapa pertimbangan telah rela mengikatkan diri. Dan setiap orang dari masa lalu itu pasti berharap bahwa orang yang datang kemudian juga memiliki pandangan serupa. Perubahan-perubahan apa saja yang terjadi menyangkut masa kini selalu diharapkan berada dalam batas-batas yang telah disepakati.
Penafsiran keamanan itu pun logis jika kemudian dijiwai oleh nilai-nilai yang ada dalam sebuah kesepakatan itu. Artinya aman tidak aman ukurannya ada dalam ketaatan pada kesepakatan yang telah dibuat bersama. Biasanya untuk menjamin ketaatan pada kesepakatan dalam istilah modern kemudian disinonimkan dengan sebutan undang-undang yang mengatur sekaligus menjamin terlaksananya kesepakatan atau konsensus nasional antar unsur, antar lembaga dan antar kepentingan didalamnya.
Hanya saja persoalan pelik yang seringkali timbul lazimnya berasal dari penafsiran atas konsep keamanan itu sendiri. Beragam tafsir dari sudut ideologis tertentu saling bersaing untuk mendefinisikannya. Satu contoh populer dalam sudut tafsir HAM. Ajaran HAM kita ketahui memuat banyak sekali doktrin-doktrin yang pada hakikatnya meletakkan manusia sebagai pusat realitas (antroposentris). Manusia lah pusat kosmos. Manusia yang berhak mengatur dan mengurus alam dan menentukan nilai-nilai dengan menafikan kekuatan diluar manusia yang dalam terminologi abad pertengahan disebut sebagai Tuhan.
Bahwa setiap orang diyakini memiliki hak-hak dasar seperti mengutarakan pendapat dan untuk bekumpul ataupun berserikat. Inilah salah satu doktrin sentral HAM. Dan seringkali kita jumpai di alam postmodern ini pendapat manusia dipandang lebih layak dibandingkan dengan pendapat Tuhan. Memang definisi HAM yang seperti ini merupakan pengertian modern yang lahir dari abad pencerahan Eropa yang kemudian lebih populer dikenal sebagai abad pemberontakan manusia kepada Tuhan.
Namun demikian dalam perkembangannya ajaran pemberontakan terhadap Tuhan ini telah mendapatkan tempat yang teramat penting dalam rasio manusia mutakhir. Setiap orang saat ini memiliki pandangan bahwa HAM harus dipertahankan sejauh mungkin untuk melindungi manusia dari kedzaliman manusia, negara dan kedzaliman global lainnya.
Walaupun disatu sisi doktrin HAM ini seringkali terlihat sangat agresif dan menabrak kesepakatan-kesepakatan yang sejatinya telah terlebih dahulu mapan. Doktrin ini kerapkali dipakai untuk merombak segala hal yang telah kokoh, baku dan lama menjadi nilai-nilai yang bersemayam dalam jiwa masyarakat (tradisi). Misalnya saja budaya gotong royong yang semakin lama semakin hilang akibat pengaruh corak individualistik berlebihan dalam ajaran HAM. Barangkali kemudian atas nama tradisi kita akan sepakat bahwa implementasi HAM yang semacam itu tidak pada tempatnya. Ia telah meruntuhkan kebajikan-kebajikan sosial bersama. Akhirnya orang dapat berkata bahwa kebebasan itu perlu dibatasi oleh konvensi, klausul-klausul, konsensus dan tradisi.
Ekspresi HAM yang melanggar konsensus dan tradisi dapat pula disebut sebagai ekspresi kemanusiaan yang bersifat negatif. Sama halnya dengan seorang penghujat simbol-simbol agama lain namun di waktu bersamaan ia berkata sedang berkhikmad kepada ajaran HAM. Pemikiran semacam ini barangkali akan dianggap tidak waras. Jadi faktor kesepakatan dan tradisi dalam hal ini memiki makna penting dalan perumusan konsep keamanan itu sendiri.
Keadaan dan situasi masyarakat suatu bangsa memang akan selalu berada dalam gerak perubahan akibat pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial dan penetrasi informasi. Dan ada saatnya hal tersebut juga tidak mustahil akan mempengaruhi kesepakatan-kesepakatan. Yang tidak dapat dihindarkan dari perubahan itu adalah timbulnya pemikiran-pemikiran yang memandang sebuah kesepakatan masa lalu tidak lagi memadai dalam mengatasi situasi serba dinamis. Sehingga terjadi beberapa dialektika yang umumnya menyuarakan perlu segera dilaksanakan sebuah perubahan. Disini kemudian setiap anggota keluarga besar yang biasa dikenal dengan bangsa merasa memiliki hak, yang seringkali diwujudkan dengan mengatasnamakan HAM, untuk mewarnai wajah bangsanya.
Adanya perbedaan kepentingan sebagai konsekuensi logis dari HAM yang dijamin dalam kerangka demokrasi menjadi hal yang niscaya. Tarik menarik kepentingan menjadi hiburan sehari-hari. Dan pada saat tertentu sulit dipertemukan. Antara mempertahankan kesepakatan lama atau mengambil hal baru untuk menjawab perubahan. Ini luar biasa sulit untuk sebuah organisasi bangsa yang belum cukup berpengalaman dalam mengawal setiap perubahan.
Lahirnya ketidakpuasan kelompok atau pribadi seringkali melahirkan gerakan-gerakan sempalan yang juga mengatasnamakan HAM dan demokrasi. Terjadi disorientasi atas kesepakatan yang sulit dipertemukan. Hingga sampai pada titik yang paling mengkhawatirkan kemudian dipandang perlu dilakukan tindakan persuasif atau bahkan refresif yang rencananya akan diformulasi  sebagai Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional.
Memang persoalannya kemudian menjadi runyam. Orang-orang yang berjiwa merdeka barangkali tidak akan ikhlas dibelenggu oleh kesepakatan tertentu. Hingga mencuat kemudian kekhawatiran kembalinya paradigma lama yang sejatinya bertentangan dengan semangat reformasi. Memang pemecahan persoalan ini perlu diupayakan sedini mungkin. Perubahan menjadi hal niscaya manakala suatu bangsa dihadapkan pada beragam kondisi dan tantangan yang dihadapinya. Hanya saja perubahan itupun sedapat mungkin tidak lantas menenggelamkan identitas dan jati diri.
 
penulis : Mohammad Faysal
under licency by :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar